Saturday, September 8, 2012

Sebuah Kisah

Hari ini berjalan seperti sedia kala, aku masih sibuk dengan kertas-kertas di mejaku dengan sesekali berbincang dengan sahabatku. Ya sahabat baruku yang baru bergabung di kantor ini kurang lebih 2 bulan yang lalu.
22 Februari
Hemm aku tidak sengaja menghitung, tapi ternyata terhitung juga. Hari ini sudah lebih dari 1 tahun yang lalu aku berpisah dengan kisah laluku. Kisah yang selalu dan masih selalu ku coba untuk aku lupakan sampai hari ini.
Ah sebenarnya aku tidak ingin mengungkitnya, tapi selalu saja tiba-tiba terungkit dengan sendirinya.
Berkompromi dengan orang lain memang jauh lebih mudah daripada berkompromi dengan pikiran sendiri.
____________________________________________________________
Tidak seperti biasanya pekerjaanku tidak terlalu menumpuk hari ini.
Menumpuk atau tidak toh aku masih bisa selalu bekerja sambil berbincang dengan sahabatku ini. Seperti yang sedang Kami lakukan saat ini.
Lalu tiba-tiba sahabatku menunjukkan telepon pintarnya ke hadapanku “lihat, aku dikenalkan dengan pria ini oleh temanku, bagaimana menurutmu?”
Ah iya, sahabatku ini sedang mencari seseorang untuk melupakan kisah lalunya.
“hemm lumayan”
Lalu keesokan harinya aku dengar mereka bertemu, ya sahabatku dan pria yang baru dikenalkan kepadanya itu. Berbagai penilaian darinya pun muncul. Penilaian itu biar cukup aku dan sahabatku saja yang tau.
Lalu setelah pertemuan itu sahabatku membawa dia bertemu denganku, ya tentu saja aku dikenalkan karena aku sahabatnya.
____________________________________________________________
Waktu berjalan begitu cepat, sepertinya baru kemarin aku pergi berlibur di Jogja bersama sahabat-sahabatku saat tahun baru, tapi sekarang sudah masuk di bulan Maret. Bulan ketiga di tahun ini.
Masih terbayang serunya liburan itu. Liburan yang cukup untuk mengantarku memasuki tahun ini dengan suka cita.
____________________________________________________________
Setelah perkenalanku dengan teman sahabatku saat itu, akupun jadi ikut berteman dengannya.
Aku mendengarkan kisah mereka dari mereka berdua.
Nampaknya mulai hari ini tiada hari tanpa mendengarkan cerita hati dari nya tentang sahabatku. Aku hanya menjadi pendengar yang baik, yang sesekali mengeluarkan kalimat penyemangat untuknya untuk selalu baik-baik dengan sahabatku ini.
Tujuanku hanya ingin membuat sahabatku melepaskan kisah lalunya.
Tapi ternyata masih terlalu sulit bagi sahabatku untuk melupakan kisah lalunya itu.
Dia belum mampu untuk membuat sahabatku memulai sebuah kisah baru.
Kekecewaan darinya begitu nyata, membuatku merasa iba. Iba karena aku melihat betapa dia ingin bersama sahabatku.
Aku hanya menempatkan diriku sebagai pendengar yang baik, yang menyediakan jariku untuk menjawab semua keluh kesahnya. Yang akan menemaninya sampai rasa kecewanya menghilang. Karena itulah manfaat seorang teman. Ya manfaatku disini.
____________________________________________________________
Nampaknya jariku terlalu banyak menyediakan waktu untuknya. Tiada henti jariku menemaninya. melebihi yang seharusnya jariku lakukan. Hingga membuatku cemas akan apa yang dihasilkan oleh jariku ini, aku cemas bila jariku ini mengubah manfaatku sebagai seorang teman, mengubah manfaatku sebagai seorang pendengar.
Aku mulai sangat takut.
Dan sahabatku pun mulai menyadari bahwa jariku ini sudah melebihi dari yang seharusnya dilakukan.
“Bagaimana hubungan kalian?” tanyaku siang itu.
Sahabatku pun menjawab “nampaknya kami tak cocok, mungkin sebaiknya kamu dengannya.”
“mana mungkin, dia milikmu, sahabatku.” Potongku
____________________________________________________________
Aku harus melakukan sesuatu.
3 April
Aku memutuskan untuk bertemu dengannya, untuk meyakinkan bahwa tak ada hal buruk yang dihasilkan oleh jariku ini.
Dan ternyata semuanya melebihi dari yang aku cemaskan.
Pertemuan yang membuat kepalaku semakin berputar dengan cepat.
Semakin tak masuk akal karena kalimat yang dia ucapkan kepadaku.
“Aku tidak tau, tapi aku merasa nyaman denganmu” ucapnya,
“tapi kamu masih menyayangi sahabatku?” tanyaku menanggapi ucapannya.
“iya” jawaban singkat darinya
“kalau begitu pergilah, rasa nyaman akan menghilang dengan mudah tapi rasa sayang akan lebih lama bertahan, perbaiki kebersamaan kalian” aku menggunakan fungsiku sebagai seorang teman.
“Apa kamu tidak merasa nyaman denganku?” dia bertanya padaku, sebelum berlalu pergi.
“Aku tidak merasakan apapun” Jawabku
____________________________________________________________
Setelah pertemuan itu aku mulai berkompromi dengan jariku.
Aku mulai mengajari jariku untuk kembali ke keadaan yang seharusnya.
Mulai mengurangi waktu untuk menemaninya karena aku tidak suka bernegosiasi dengan keadaan yang lebih buruk.
Setelah pertemuan itu obrolan pun mulai terbatas, tapi aku tau dia sudah melakukan yang seharusnya dia lakukan, Dia dan sahabatku kembali bersama.
____________________________________________________________
18 April
Aku tak pernah bisa memahami kebersamaan antara dia dan sahabatku, sampai pada hari ini aku menerima pesan singkat darinya “aku dan dia sudah berakhir, kisah lalunya membuat kami tak bisa bersama.”
Aku ada ditempatku, di tempat yang seharusnya sebagai pendengar yang baik.
Tiga hari kemudian sahabatku berkeluh, berkisah bahwa dia pergi tanpa meninggalkan jejak.
Dan sejak saat itu dia mulai menancapkan jejaknya. Untukku.
____________________________________________________________ 

Perhatiaannya selama 1 bulan ini terlalu tidak biasa bagiku. Membuatku begitu ingin bertanya, sebenarnya apa yang sedang terjadi.
17 Mei
Awalnya aku ragu apa pertanyaanku ini akan mendapatkan jawaban seperti yang aku harapkan. Bahkan aku sendiri tidak tau apa yang sebenarnya aku harapkan. Aku hanya ingin mendapatkan barisan kalimat yang dapat membuatku mengucapkan selamat tinggal pada kisah laluku, kisah yang masih selalu aku sebut dalam barisan ceritaku.
Berbekal rasa ingin tau yang dalam, aku pun memberanikan diri untuk bertanya padanya melalui telepon pintarku, karna aku tak terlalu pandai merangkai kata yang langsung terucap dari bibir.
“Mmm apa yang kamu rasakan padaku saat ini dengan perhatianmu yang seperti ini? Apakah ini sesuatu yang biasa, sesuatu yang lebih dari biasa atau apa?”
Beberapa saat kemudian telepon pintarku berkedip, balasan darinya “bohong jika aku katakan aku tidak memiliki rasa apapun, kita sudah sangat dekat dan aku menyukaimu, bagaimana denganmu?”
Saat itu juga rasanya duniaku berputar dengan cepat. Bahkan terlalu cepat. Barisan kalimat mulai aku susun dalam benakku, tapi tak ada satupun yang dapat aku tuangkan dalam tulisan.
Kompromi-kompromi kecil mulai riuh dalam pikiranku, apakah ini saatnya aku mengucapkan selamat tinggal pada kisah laluku.
Apakah dia yang akan membawaku ke dalam kisahku nantinya?
“Ya, akupun begitu”
hanya kalimat itu yang dapat aku tuliskan setelah beberapa waktu berdiskusi dengan pikiranku.
Kalimat singkat yang membawa aku dan dia pada kesepakatan untuk berjalan beriringan meyakinkan jiwa masing-masing bahwa kita memiliki rasa. Ya tentu saja masih meyakinkan karna aku dan dia sama-sama menyadari bahwa keyakinan itu belum hadir.
Kalimat singkat yang membawa aku dalam kebimbangan baru.
Aku memutuskan sendiri dengan hanya berdiskusi dengan benakku sendiri tanpa melibatkan sahabat baruku yang telah berkisah dengan kekasihku.
____________________________________________________________
Jam makan siangku yang selalu aku habiskan dengan menyantap hidangan ku selama 15 menit dan sisa waktunya aku habiskan untuk sejenak mengistirahatkan mataku. Itu adalah kenikmatan sesaatku disiang hari.
Aku selalu memperhatikan sahabatku yang tak aku bagikan kisah baruku.
Ah sahabatku ini, aku senang saat ini dia sudah bersama dengan seorang yang baik yang selalu menemaninya. Menemani Kami. Menghabiskan waktu berlibur bersama. Aku, sahabatku, seorang sahabatku dan seorang yang baik ini.
Ingin sekali aku berkisah dengannya, tentangku.
Tentang rasaku saat ini, tentang gundahku saat ini. Tapi aku tak seberani itu. Karena aku sendiri belum tau yg terjadi saat ini benar atau salah, layak atau tidak, dan bahwa keyakinanku ini belum besar untuk dia dan bahwa keyakinanku ini belum sempurna mengatakan sahabatku akan menerima kisahku dengan kebesaran hatinya.
Karena aku tak bisa membaca pikirannya, aku tak dapat menggabungkan cerita yg terbata-bata yg aku terima darinya dulu.
Tapi aku yakin, saatnya nanti kisah ini akan aku bagi dengannya, dengan sahabatku. Aku hanya sedang menantikan waktu yg tepat untuk membagi kisahku ini. Kisah yg aku yakin tak semua orang bisa memahaminya.
____________________________________________________________
14 Juni
Sudah hampir 1 bulan aku melewati hari-hati yangg begitu sulit aku pahami namun membuatku tersenyum karna aku sudah tak sendiri. Dan aku mulai mampu mengucapkan selamat tinggal pada kisahku yg lalu.
Yang aku jalani ini begitu sulit, andai kalian mengerti. aku sedang merasa begitu ingin dimengerti dan begitu ingin dimaklumi.
Bulan pertama ini aku lewati dengannya dengan puluhan kata-kata darinya untuk meyakinkanku, memberikan keyakinan bahwa dia akan selalu bersamaku.
Tapi pikiranku masih sulit untuk merasa bebas bersamanya, masih terasa berat untuk dengan keringanan hati melewati hari-hari dengannya.
Oh mungkin karena aku belum berbagi kisah ini dengan sahabatku, sehingga masih ada yg membebani perasaanku.
Aku merasa hari ini hari yg tepat untuk membagikan kisahku bersama sahabatku. Aku melihat dia sedang begitu berbahagia.
Oh sahabatku ini masih menikmati harinya dengan seorang yg baik itu, dan saat inipun sahabatku sedang menikmati secercah keindahan bersama dengan seorang baru yang begitu mempesonakan mata.
Oh sahabatku, aku harap kisahku ini tak akan merusak hari indahmu karna aku hanya ingin mengabarkan yang terjadi padaku 1 bulan ini. Begitu sederhana inginku, aku ingin melepaskan yg selama ini tersimpan, bukan untuk apapun, aku hanya ingin tak ada lagi yang aku simpan karena kau sahabatku.
Sahabatku sedang berbinar-binar membagi kisahnya dengan seorang yg mempesonaka itu ketika aku mulai membuka suaraku “aku dan dia sudah bersama”
Oh sahabatku yang semula berbinar seketika berubah, membuatku merasa bingung dengan apa yang sedang terjadi, semakin bingung dengan barisan kalimatnya “ternyata firasatku benar, aku dan dia pernah bersama meskipun tak tau disebut apa. Aku lebih mudah melupakannya karena dia menghilang begitu saja, mungkin memang sudah ada yang lain di hidupnya dan ternyata memang benar, kamu sudah tau seperti apa dia, aku sudah menjadi buktinya. Semoga kalian lama bersama”
Barisan kalimat yang begitu panjang, yang membuat dadaku terasa sesak, aku hanya dapat bertanya pada pikiranku sendiri, ada apa ini, kenapa tidak seperti yang aku harapkan, mengapa semuanya tidak seperti yang aku perkirakan sebelumnya, semuanya tidak baik-baik saja.
Beberapa menit kemudian aku mulai membaca ungkapan perasaan sahabatku pada telepon pintarnya. Ternyata aku memang melakukan kesalahan, aku membuatnya marah.
Aku berharap tak pernah membacanya tapi sudah terlambat, aku sudah membacanya.
Maafkan aku, tapi aku tidak pernah tau darimana permintaan maaf itu aku mulai. Satu hal yang pasti, maafkan aku karena tidak pernah memahami perasaanmu saat itu.
Aku tak pernah bermaksud membuat suasana berubah seperti ini.
____________________________________________________________
Aku ingin mengembalikan sahabatku, aku tidak ingin melewatkan pembicaraan disela-sela bercengkrama dengan dokumen.
Aku pernah dibenci, aku pernah dijauhi oleh seorang sahabat, sungguh aku tak ingin itu terjadi kembali.
Aku memutuskan sendiri, aku hanya berkompromi dengan pikiranku senidiri, lagi.
Ya akhirnya aku memutuskan untuk melepaskan dirinya. Aku lebih memilih mempertahankan persahabatanku, meskipun aku tak pernah tau apakah setelah aku melepaskannya , sahabatku akan kembali padaku.
Ah itu tak aku pikirkan, aku hanya sedang berusaha.
____________________________________________________________
Aku gagal, aku tak berhasil mengakhiri kisahku dengannya. Dia begitu pandai membuatku tetap berada disisinya. Meyakinkanku bahwa dia layak untuk aku pertahankan.
Meyakinkanku bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Dan akupun tak mau dipersalahkan karena telah menyakitinya.
Ya, aku tetap bersamanya, dan tanpa pemberitahuan sahabatku telah kembali lagi.
Akupun sampai saat ini tak pernah mengerti apa yang membuat sahabatku mau membuat semuanya layaknya tak terjadi apa-apa
____________________________________________________________
 Aku melanjutkan kebersamaan dengannya, tetap berusaha meringankan hatiku untuk melewati hari-hari bersamanya.
Aku sudah membagikan sepenggal kisahku dengan sahabatku, pasti semuanya akan lebih ringan, pikirku.
Meskipun aku tau aku tak akan mampu berbagi lebih banyak lagi kisah-kisahku ini dengan sahabatku, karena tak ingin semuanya berputar kembali lagi menjadi yang tak aku inginkan. Aku ingin mendamaikan keadaan.
Lagi lagi aku tak mengerti. Mengapa begitu banyak yang aku tak mengerti.
Rasaku, yakinku belum sempurna. Langkahku belum ringan bersamanya.
Berbagai ucapan darinya untuk meyakinkanku belum bekerja seperti yang seharusnya.
Aku mulai mengira-ngira kembali, mungkin karena semuanya berjalan tak seperti inginku.
Kisah laluku membuatku banyak belajar bahwa kisah baruku harusnya seperti inginku.
____________________________________________________________
17 Juli
Aku tak ingin segalanya akan semakin sulit untuk dilewati oleh aku dan dia.
Lagi, aku memutuskan untuk mengakhiri kisah ini. karena semuanya berjalan tak seperti ingnku.
Tak akan keberatan jika aku hanya membagi inginku ini untuknya. Karena hanya dia yang seharusnya tau inginku.
Ini tak mudah, aku memikirkannya dengan teramat sangat. Meskipun langkahku tak bisa ringan bersamanya, tapi hari-hari sulit yang aku lewati untuk tetap bersamanya selalu mengingatkanku bahwa perjalanan ini tak seharusnya sia-sia begitu saja. Bahkan aku sudah hampir mengorbankan sebuah persahabatan.
Aku meragu tapi raguku masih terkalahkan oleh inginku.
Ya aku sudah mengucapkannya. Bahwa kisahku harus aku akhiri saat ini.
Tapi lagi, dia yang begitu pandai merangkai indahnya barisan kalimat untukku berhasil membuatku tak beranjak kemanapun.
“Ya, aku turuti inginmu”. Barisan kata-kata yang mebuatku kembali berkompromi dengan pikiranku. Dan aku tetap berada ditempatku untuk masih berjalan beriringan bersamanya. Dan karena aku pun tak ingin membuatnya pergi dengan terluka.
____________________________________________________________
Dua waktu dia membuatku tetap berada disisinya. Membuatkku merasa sangat menikmati keadaan dan perjalanan ini.
Aku mulai mendambanya setiap waktu. Inilah kisahku yang seharusnya, pikirku.
Kisah baruku, yang meskipun tak terlalu layak untuk dimulai tapi bisa membuatku melupakan kisah laluku dan membuatku bisa menikmati hari-hariku.
Walau tak sempurna tapi inilah yang seharusnya, pikirku.
Karena kesempurnaan bisa diukir seiring berjalannya waktu, pikirku kembali.
____________________________________________________________
18 Agustus
Kisah baruku sudah mulai bisa membuatku merindu.
Aku menunggu untuk bertemu dengannya, untuk mengatakan bahwa aku sduah sangat meringankan hatiku melewati hari-hari selanjutnya bersamanya.
Perbincangan kami begitu membahagiakan malam ini.
Begitupun perbincanganku dengan seorang sahabatku, seorang sahabat tempat aku membagi kisah baruku ini.
Aku begitu berbinar saat berbincang dengan sahabatku ini. Yang kemudian binarku ini menuntunku untuk memasang wajahnya pada telepon pintarku. Ini yang pernah dia pinta padaku dulu, tapi baru saat ini aku mampu melakukannya.
Tapi nasib baik sedang tidak berpihak malam ini. Dia sudah terlelap, tak sempat menatap wajahnya sendiri. Andai dia sempat melihatnya, dia pasti akan sangat bahagia.
Lain waktu akan aku lakukan kembali untuknya. Aku hanya perlu menikmati keindahan ini saat ini.
____________________________________________________________
23 Agustus
Tak perlu waktu untuk mengubah seseorang. Tak perlu ada badai besar untuk menggoyangkan sebuah batang pohon. Cukuplah angin kecil saja melakukannya.
Dia yang beberapa waktu ini begitu ingin kutemui, berubah menjadi seorang yang tak ku kenal. Inginku yang dulu dia janjikan untuk dia berikan, inginku yang begitu sederhana itu dia bawa kembali ke perbincangan kami yang dia buat begitu rumit. Perbincangan yang mebuatku sangat lelah.
Oh siapa dirinya? Kenapa dia mulai sangat membuatku cemas. Membuatku tak dapat menggunakan pikiranku. Membuat dia tampak begitu asing.
Tak taukah dirinya bahwa begitu bahagia aku menyusun gambaran pertemuan kami nanti. Tak mengertikah dia tentang apa yang sedang ada dipikiranku saat ini.
Dia begitu menakutkan untukku.
Tak ada lagi perbincangan yang menyenangkan. Senyumku mulai hilang. Harapan-harapan ku mulai tertidur kembali.
____________________________________________________________  
28 Agustus
Sudah terlalu berlarut keadaan ini. bahkan untuk berkompromi dengan pikiranku sendiri sudah sangat sulit aku lakukan. Aku tak bisa membaca pikirannya. Tak dapat memahami apa yang dia harapkan sesungguhnya.
“aku tak sabar lagi menunggu, bisa kita bertemu” pesan yang aku kirim untuknya pagi ini.
“jangan sekarang, tubuhku sedang tidak baik, aku tak ingin kemanapun” balasnya.
Aku tak tau sampai kapan ini berjalan seperti ini. Aku sudah tidak dapat bernegosiasi dengan waktu. Dengan sejuta keberanian yang aku kumpulkan aku bertanya tentang bagaimana langkah aku dan dia selanjutnya. Dengan tetap bersikap seperti seorang yang tidak aku kenal dia mengakhiri kisah ini, kisah baruku ini. Melalui pesan singkatnya.
Duniaku kembali berputar tak tentu arah. Tak ada yang bisa aku ucap selain menyetujui dan mendoa untuknya.
Dan diapun pergi tak meninggalkan jejaknya. Seperti yang dia lakukan saat pergi dari sahabatku dulu.
Seperti awal pertama, aku hanya bertugas menemaninya sampai rasa kecewanya hilang, saat kini dia sudah baik-baik saja dia pergi. Mungkin memang sudah sewajarnya seperti ini.
Kisah baruku usai sudah, akhir yang tak dapat aku bagikan kepada para sahabat. Karena kau tak kan sanggup memberikan jawaban dari segala pertanyaan. Izinkan aku untuk berdiam sesaat sahabat-sahabatku.
Karena aku sendiri masih memiliki pertanyaan untuk semua ini.
Waktu begitu cepat berubah. Kini aku harus melawan kegundahanku. Aku mulai belajar untuk mengemablikan ke keadaan semula, sebelum dia hadir di hidupku.
Ini tak akan mudah karena DIA PERGI SAAT AKU MULAI MENJATUHKAN HATI.
 

No comments:

Post a Comment